Me & PlendQuw ^,^

Sabtu, 17 April 2010


Pengaruh Globalisasi Terhadap Ideologi dan Politik
Pengaruh globalisasi terhadap ideology dan politik adalah akan semakin kuatnya pengaruh ideology dalam mewarnai perpolitikan negara-negara berkembang yang ditandai oleh menguatnya kapitalisme. Ciri khas kapitalisme abad 21 ini adalah bersifat prakmatis dan imperialis dalam arti ingin tetap menguasai pihak lain. Implikasi global ini dibidang politik mau tidak mau harus membuka komunikasi serta system politik baru yang terbuka. Tuntutan-tuntutan dari proses globalisasi yaitu adanya gerakan hak-hak asasi manusia, gerakan lingkungan hidup dan gerakan-gerakan politik yang melemahkan paham nasionalisme. Sementara pada sisi lain ideology komunis sebagai legitimasi kekuasaan telah runtuh, sehingga permasyarakatan ideology komunis dalam era globalisasi memudar.

Harga ideologi di tengah pasar globalisasi
Wacana tentang ideologi mencuat kembali seiring dengan arus globalisasi yang dianggap mengancam terhadap eksistensi nation-state. Di tanah air, nasib ideologi Pancasila mengalami pasang surut. Ia sempat disakralkan, tapi kemudian dicampakkan. Karena itu pula, Pancasila tak membumi bagi kehidupan bangsa. Sakralisasi telah menyebabkan Pancasila seperti benda museum yang berjarak dari generasi anak bangsa.
Akibat itu pula, Pancasila tidak berharga dan dianggap barang langka yang tak menarik untuk diaktualisasikan. Ini terbukti dari semakin sulitnya mencari generasi muda yang, paling tidak, tahu lima sila Pancasila. Beberapa televisi pernah menayangkan wawancara mendadak dengan sejumlah generasi mudah dari kalangan siswa sampai mahasiswa. Sebagian besar mereka tak bisa menyebutkan isi Pancasila. Ini menjadi indikator sederhana dari semakin terasingnya Pancasila dari nafas kehidupan anak bangsa.
Pada peringatan hari lahir Pancasila semua orang tersentak untuk merejuvenasi Pancasila. Semua, terutama elit politik, merasa paling perhatian terhadap nasib Pancasila tanpa menyadari bahwa dirinya telah menjadi bagian dari penyebab 'matinya' Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila hanya dijadikan payung penyelamat untuk kepentingan politik kaum elit. Pancasila seperti agama. Ia dikhutbahkan di mimbar politik citra sebagai benteng atas ancaman terhadap diri dan kelompokya untuk kemudian mencari simpati agar diklaim sebagai sosok Pancasilais.
Kenyataan ini semakin menjauhkan Pancasila dari generasi muda di tengah globalisasi yang tak henti-hentinya menghampiri. Tidak berlebihan apabila seorang intelektual seperti Daniel Bell mengumandangkan ikrar the end of ideology.

Politik endism
Arus globalisasi dengan segala muatannya sebenarnya merupakan proses ideologisasi baru. Hal ini biasanya diiringi dengan politik endism, yaitu sebuah tesis tentang matinya ideologi besar dunia akibat gerusan kapitalisme yang tak tertandingi. Negara maju dengan kapitalismenya menyusup melalui stigma endism. Kenyataan inilah yang dipromosikan oleh para pemikir endist yang tertuang dalam pelbagai karyanya, seperti the end of ideology (Daniel Bell) dan the end of history (Francis Fukuyama), the end of the nation state (Kenichi Ohmae atau Jean-Marie Guehenno), dan lainnya.
Dengan kata lain, ideologisasi globalisasi merupakan bentuk paling nyata dari upaya pengakhiran ideologi lainnya, termasuk Pancasila (the end of the Pancasila?) sehingga memperlancar hegemoni negara maju. Dan tidak tertutup kemungkinan Pancasila pada akhirnya mati di tengah globalisasi akibat ketakberdayaan anak bangsa merespon berbagai godaan global.
Di tengah pasar ideologi yang semakin terbuka saat ini, eksistensi Pancasila sangat rentan terjangkit penyakin endism. Untuk itu, perlu langkah-langkah strategis dan konstruktif dengan memanfaatkan seluruh potensi dan peluang (opportunity) yang ada dalam masyarakat. Salah satu peluang tersebut adalah adanya potensi-potensi 'perlawanan' terhadap arus globalisasi yang belakangan marak terjadi khususnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Fenomena ini biasanya diiringi oleh keinginan untuk menumbuhkan kembali budaya lokal (local wisdom) khas Indonesia yang plural dan toleran. Inilah modal penting dan cukup strategis bagi pembumian nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan warga negara tanpa doktrinasi yang sering berbuah alienasi.
Peluang itu dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan cara mengembalikan Pancasila sebagai wacana publik yang toleran dan aktual, diiringi kebijakan dan prilaku politik yang inklusif dan artikulatif.

0 Comments:

Post a Comment